JAKARTA – Anggota Komisi X DPR RI, Juliyatmono, mengusulkan perubahan kontroversial terkait pendidikan kedinasan. Ia menyarankan agar pendidikan di sekolah kedinasan tidak lagi gratis dan lulusannya tidak otomatis menjadikan mereka Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Apa yang mendasari usulan yang dapat mengubah wajah pendidikan kedinasan di Indonesia ini?
Juliyatmono, yang merupakan wakil dari Fraksi Golkar, berpendapat bahwa sekolah kedinasan cenderung menciptakan kelompok eksklusif dengan rasa korsa yang berlebihan. Menurutnya, hal ini memunculkan kesan superioritas di kalangan mahasiswa yang menempuh pendidikan di sana.
“Membangun korsa ini membuat mereka kurang mampu menerima kehadiran orang lain, sehingga merasa paling unggul dan paling jago,” ungkap Juliyatmono dalam siaran YouTube Tv Parlemen, Senin (7/7/2025).
Juliyatmono juga menyoroti besarnya beban anggaran negara untuk membiayai sekolah kedinasan, yang bersumber dari mandatory spending 20 persen APBN. Ia mengusulkan agar sistem pendidikan di sekolah kedinasan direformasi secara menyeluruh.
Gagasan yang diusulkan adalah membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memasuki sekolah kedinasan melalui proses seleksi yang lebih ketat, dengan konsekuensi calon mahasiswa harus membayar biaya pendidikan dan tidak ada jaminan otomatis menjadi CPNS setelah lulus.
“Ini hanya sebuah gagasan. Kita perlu mendengar tanggapan dan melakukan kajian mendalam agar semua pihak dapat menerima keputusan ini di kemudian hari,” tuturnya.
Dengan sistem baru ini, Juliyatmono berharap lulusan sekolah kedinasan dapat bersaing dengan adil bersama lulusan perguruan tinggi lainnya dalam seleksi CPNS.
“Jika mereka ingin mendaftar di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), maka seleksinya harus ketat, dan mereka harus membayar saat mengikuti CPNS,” jelas Juliyatmono.
Usulan ini tentu saja memicu perdebatan. Di satu sisi, gagasan ini menjanjikan keadilan dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk berkarier di pemerintahan. Namun, di sisi lain, hal ini bisa memberatkan calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu yang bermimpi mengabdi pada negara melalui sekolah kedinasan.
Bagaimanapun, wacana ini membuka ruang diskusi penting mengenai arah dan tujuan pendidikan kedinasan di Indonesia. Apakah sistem yang ada saat ini masih relevan, ataukah perubahan yang radikal diperlukan untuk menciptakan birokrasi yang lebih kompeten, inklusif, dan adil? (Warta Kampus)



 
                                    