BANDUNG – Di tengah banyaknya informasi yang sering kali menyesatkan, terutama di bidang astronomi, sekelompok mahasiswa ITB angkatan 2024 merasa terpanggil untuk beraksi. Melalui acara bertajuk “Thaumazein: The Truth Unfold, Revealing Astronomical Mystery”, mereka berusaha mengungkap misteri jagat raya dan memperbaiki berbagai kesalahpahaman yang umum beredar di masyarakat.
Acara yang dilaksanakan di Auditorium IPTEKS CC Timur dan Lapangan Cinta, ITB Kampus Ganesha, pada Minggu (21/9/2025) ini merupakan bagian dari rangkaian Pembinaan Anggota Muda (PAM) Himpunan Mahasiswa Astronomi (Himastron) ITB 2025. Lebih dari sekadar kegiatan akademis, “Thaumazein” menjadi bentuk kepedulian mahasiswa untuk mendekatkan ilmu astronomi kepada masyarakat melalui cara yang menarik.
Nama “Thaumazein” sendiri memiliki makna yang mendalam. Istilah yang berasal dari filsafat Yunani kuno ini mencerminkan perasaan takjub dan rasa penasaran yang mendorong seseorang untuk bertanya. “Kami memilih Thaumazein sebagai simbol tujuan kami untuk mendorong masyarakat lebih banyak bertanya dan tidak menerima informasi begitu saja,” ujar Ketua Pelaksana, Ghazanfar Wangsa Muhammad.
Untuk mencapai tujuan ini, “Thaumazein” menyajikan tiga rangkaian kegiatan yang menarik. Sesi exhibition menampilkan lima booth interaktif yang dirancang khusus untuk menjelaskan berbagai miskonsepsi populer. Pengunjung diajak untuk meninjau kembali anggapan umum, seperti klaim bahwa lubang hitam (black hole) dapat menyerap segala sesuatu atau pandangan bahwa citra astronomi selalu disajikan dalam warna-warna yang memukau.
Selanjutnya, sesi talk show menghadirkan astrofisikawan dan dosen Astronomi ITB, Anton Timur Jaelani, D.Sc. Diskusi ini menjadi kesempatan penting untuk membahas berbagai miskonsepsi yang telah ada di masyarakat, serta memberikan pemahaman tentang cara mengenalnya dan memperbaikinya.
Selain itu, sebuah film pendek berjudul “Moon Among the Silence” juga ditayangkan. Karya asli mahasiswa Astronomi ITB ini mengisahkan Arkin, seorang pria yang dihantui oleh rasa bersalah setelah kehilangan Livi, kekasihnya, akibat tragedi genosida di Gaza. Kehilangan ini ia tuangkan dalam sebuah sajak sebagai pengingat selamanya.
Menurut sutradara film, Ventino Alexsandra, yang juga merupakan mahasiswa Astronomi ITB, film ini bertujuan untuk membuka ruang interpretasi bagi penonton. “Film ini dirancang agar penonton dapat memberi makna sesuai dengan imajinasi masing-masing,” ujarnya.
Ghazanfar menambahkan harapannya agar esensi dari “Thaumazein” dapat benar-benar diterima oleh masyarakat. “Kami berharap masyarakat tidak lagi menerima informasi secara mentah-mentah, melainkan melakukan proses verifikasi dengan banyak bertanya,” tutupnya. (PERS)



