16.4 C
New York
Jumat, Oktober 31, 2025

Buy now

spot_img

Menteri Pendidikan Yakin Kampus Unggul Ciptakan Industri yang Kuat

SURABAYA – Dalam sebuah kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) baru-baru ini, Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi, Prof. Brian Yuliarto, mengungkapkan pandangannya yang memberikan pencerahan tentang arah baru dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Ia dengan tegas membahas masalah-masalah mendasar yang menjadi penghambat kemajuan kampus dan negara ini.

“Negara dengan ekonomi yang baik selalu memiliki industri yang kuat, dan di balik industri tersebut terdapat kampus yang berkualitas,” ungkap Prof. Brian. Pernyataan ini bukan hanya ungkapan semata, tetapi merupakan cerminan atas ambisi kita sebagai bangsa untuk meraih kemajuan.

Dalam kesempatan itu, beliau juga menyoroti fenomena mentalitas “Jam Lima Sore”. “Bagaimana kita bisa mengejar target jika mentalitas kita terbatas pada jam lima sore?” tanyanya secara retoris. Ini merupakan diagnosa yang mendalam terhadap permasalahan kronis yang menggerogoti semangat akademis dan intelektual kita.

Prof. Brian membandingkan dengan Korea Selatan, di mana mahasiswa yang berprestasi rela bekerja hingga larut malam untuk mendiskusikan temuan baru. Hal ini kontras dengan kebiasaan di Indonesia, di mana banyak anak muda termasuk mahasiswa lebih memilih menghabiskan waktu di zona nyaman seperti bermain game online atau menonton televisi.

“Ini bukan soal menghakimi hiburan, karena hiburan adalah hak setiap individu. Namun, yang perlu ditegaskan adalah urgensi dan semangat untuk maju,” jelas Prof. Brian. Ia menegaskan bahwa kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai jika ada kaum elit yang memiliki ambisi dan etos kerja tinggi. Kalangan elit tersebut mencakup mahasiswa, dosen, dan guru besar—mereka adalah motor penggerak inovasi dan penentu masa depan bangsa.

Namun, kenyataan di dunia kampus saat ini sering terjebak dalam pola lama. Dosen lebih mementingkan jumlah publikasi di jurnal internasional terindeks Scopus, sehingga menghasilkan penelitian yang hanya menjadi tumpukan dokumen di perpustakaan. Di sisi lain, banyak mahasiswa melihat kuliah hanya sebagai formalitas untuk mendapatkan gelar, bukan sebagai kesempatan untuk mengasah ambisi dan kreativitas mereka.

Prof. Brian menegaskan bahwa fenomena ini merupakan manifestasi dari mentalitas “jam lima sore”: bekerja sekadarnya, pulang tepat waktu, dan menghindari tantangan yang lebih besar.

Untuk mengatasi masalah ini, beliau mengusulkan redefinisi peran dosen. Dosen seharusnya tidak hanya diukur dari jumlah publikasi, tetapi juga sebagai inovator yang mampu menghasilkan royalti dari penelitian mereka. Ini adalah pergeseran paradigma yang radikal, di mana penelitian harus lebih relevan dengan kebutuhan industri serta mampu memberikan solusi terhadap masalah publik dan dampak ekonomi yang nyata.

“Ketika penelitian berhasil, dosen dan kampus akan mendapatkan pemasukan, industri mendapatkan solusi, dan negara bergerak menuju kemajuan. Ini adalah simbiosis mutualisme yang ideal,” paparnya. Namun, ia menyadari bahwa mencapai semua ini tidaklah mudah dan dosen tidak bisa melakukannya sendiri.

Di sinilah peran Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pusat Penelitian menjadi sangat penting. Prof. Brian menyatakan bahwa kantor mereka seharusnya tidak hanya berada di dalam kampus, melainkan juga menjangkau luar kampus, seperti kawasan industri dan lobi kementerian.

“Mereka adalah duta kampus yang bertugas menjemput peluang, menciptakan kolaborasi, dan memasarkan hasil riset ke dunia nyata,” jelasnya. Pandangannya sejalan dengan pemikiran Prof. Michael Porter, pakar strategi bisnis dari Harvard, yang menekankan pentingnya kolaborasi antara universitas, industri, dan pemerintah, seperti yang diuraikan dalam bukunya *Competitive Advantage of Nations* (1990).

Contoh nyata bisa kita lihat di Korea Selatan, di mana universitas-universitas ternama seperti KAIST dan Seoul National University menjalin kerja sama erat dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Samsung dan Hyundai, menciptakan ekosistem inovasi yang kuat dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Di Indonesia, kolaborasi semacam ini masih bersifat sporadis dan sering terhambat oleh birokrasi yang rumit, kurangnya keberanian, dan mentalitas “jam lima sore”.

Untuk mewujudkan visi pendidikan tinggi yang kompetitif, Prof. Brian menekankan perlunya mengatasi tantangan sistemik melalui solusi struktural. Pertama, sistem insentif di kampus harus diubah. Dosen seharusnya dinilai berdasarkan dampak nyata dari penelitian mereka, bukan hanya jumlah publikasi atau indeks kutipan semata. Model seperti Fraunhofer Society di Jerman, yang mengelola jaringan penelitian terapan yang berhubungan langsung dengan industri, patut diadaptasi. Di sana, dosen didorong untuk menghasilkan paten dan produk yang dapat dipasarkan.

Kedua, peran Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pusat Penelitian perlu didefinisikan ulang sebagai “panglima perang” di industri. Mereka harus dibekali kemampuan negosiasi, pemahaman pasar, dan keahlian dalam membangun jaringan strategis, mengingat budaya akademik yang cenderung introvert dan terfokus pada rutinitas kampus.

Ketiga, mahasiswa harus dididik untuk menjadi agen perubahan, bukan sekadar pencari nilai. Kurikulum harus diarahkan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kewirausahaan. Program magang di industri, proyek riset kolaboratif, dan inkubator startup di kampus bisa menjadi langkah awal yang signifikan.

Kemajuan suatu bangsa, kata Prof. Brian, bukanlah hal yang datang dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari kerja keras, ambisi, dan keberanian untuk meninggalkan zona nyaman. Mentalitas “jam lima sore” mungkin terasa nyaman, tetapi itu adalah jalan buntu. Sebaliknya, jalan “jam sembilan malam” memang penuh tantangan, tetapi di akhir perjalanan tersebut terdapat tujuan besar: sebuah bangsa yang inovatif, industri yang kuat, dan ekonomi yang tangguh.

“Sebagai dosen, kita perlu merenungkan: apa peran saya dalam ekosistem ini? Apakah saya cukup berani untuk mendorong mahasiswa keluar dari zona nyaman mereka? Apakah riset saya relevan dengan kebutuhan masyarakat?” serunya. Ia mengajak kita bertanya, “Dan sebagai bangsa, kita juga perlu bertanya: apakah kita siap mengorbankan kenyamanan demi ambisi?”

Mengutip Thomas Edison, “Genius adalah satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen kerja keras.” Prof. Brian Yuliarto mengingatkan bahwa kemajuan tidak muncul dari mimpi, melainkan dari usaha dan kegigihan. Untuk mewujudkan visi besar ini, diperlukan langkah kolektif: dosen harus berinovasi, mahasiswa harus memiliki impian besar, dan kampus harus menjadi jembatan menuju dunia nyata.

Pemerintah juga diharapkan dapat berperan aktif dengan menciptakan kebijakan yang mendukung kolaborasi antara kampus dan industri, seperti memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mendanai penelitian universitas. Pernyataan Prof. Brian Yuliarto ini bukan sekadar kritik, melainkan seruan untuk bergerak. Ia mengajak kita untuk beralih dari mentalitas “jam lima sore” ke semangat “jam sembilan malam”, semangat yang telah membawa Korea Selatan dan banyak negara maju lainnya ke puncak inovasi.

Pertanyaannya kini sederhana: maukah kita mengambil jalan yang penuh tantangan itu, atau akan terus berjalan santai dalam kenyamanan yang pada akhirnya hanya membawa kepada stagnasi? (PERS)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles